Siang ini, suhu udara kota medan cukup panas dan berhasil membuat gerah seluruh tubuh, bahkan ruangan ber-ac sekalipun tidak mampu menghalau nya. Tapi saya yakin rasa gerah yang saya rasakan saat ini tidak ada apa-apanya dibanding rasa gerahnya anak-anak SMA kelas 3 yang sudah tidak sabar segera menyelesaikan hari terakhir Ujian Akhir Nasional mereka. Tidak sabar selesai bukan supaya bisa memiliki waktu belajar lebih banyak untuk persiapan USM-PTN, tetapi sudah tidak sabar untuk merayakan hari terakhir ujian ini dengan konvoi dan coret-coret baju (menurut mereka, tak afdol masa SMA jika tak dilewatkan dengan corat-coret baju). Hei ini bukan sekedar asumsi belaka tapi begitulah yang sering terjadi. Tak dipungkiri dulu saya pun begitu, tapi rasa takut dan khawatir akibat pidato Kepala Sekolah yang berulang-ulang tentang efek-efek negatif dari kegiatan tersebut ternyata berhasil menciutkan nyali saya dan beberapa teman-teman untuk tidak bertindak aneh-aneh.Tapi pemandangan depan kantor saya hari ini, dimana anak-anak SMA, laki-laki dan perempuan sama banyaknya dengan seragam "SMA"mereka yang sudah tidak layak disebut seragam lagi karena penuh oleh cat warna-warni beramai-ramai melakukan konvoi dengan ugal-ugalan di jalanan, ada dengan menggunakan kendaraan roda dua, mobil pribadi dan bahkan mereka sampai menyewa angkutan umum demi bisa ikut serta dalam euforia ini,tampaknya bagi mereka soal berapa nilai yang akan mereka peroleh, lulus atau tidak itu urusan belakang. Dan yang saya lihat kali ini semakin menguatkan "bukan sekedar asumsi"
bahwa tradisi ini telah mendarah daging bagi hampir sebagian besar
anak-anak sekolah jaman sekarang. Menurut saya pribadi tidak ada yang salah dengan merayakan "kelegaan". Lega telah menyelesaikan Ujian Akhir, lega karena pengorbanan selama 3 tahun terselesaikan juga atau lega karena akhirnya akan menuju masa yang baru lagi dalam hidup.
Karena toh merayakan itu juga bisa disebut sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah kita dapatkan. Tapi yang sering terjadi justru sebaliknya, bukan alih-alih bersyukur dengan tindakan positif tapi kita malah terlalu tenggelam dalam "euforia" kelegaan itu yang pada akhirnya menjerumuskan kita pada tindakan-tindakan negatif. Seperti Ugal-ugalan di jalan, selain itu membahayakan diri sendiri bukankah itu juga membahayakan diri orang lain? Belum lagi resiko di-razia oleh aparat keamanan, dan resiko-resiko tak terduga lainnya. "Demi solidaritas dan kenangan, tak apalah, lagian ini juga hanya sekali seumur hidup". Itu kata adik sepupu yang saya tanya kenapa dia begitu ngotot sampai menangis segugukan demi meminta izin kepada orangtuanya agat bisa ikut teman-temannya. Sedikit mengelus dada mendengar penuturannya. "Demi Solidaritas dan hanya sekali seumur hidup". Hanya untuk alasan yang menurut saya kurang logis itu dia mempertaruhkan hidup dan berani membantah orang tuanya. Solidaritas? saya jadi tau kalau ternyata solidaritas pertemanan itu hanya dinilai dari apakah kita bisa mengikuti semua kemauan "kelompok" tak perduli benar atau salah. kemudian "hanya sekali seumur hidup", alasan ini lagi-lagi menggangu fikiran saya, memangnya apa yang salah jika kita sebagai manusia tidak ikut dalam kegiatan yang katanya hanya sekali seumur hidup? apakah karna itu kita tidak bisa menjadi manusia yang mempunyai kridibelitas ataukah kita tidak akan dianggap "manusia normal" jika melewatkan yang "sekali seumur hidup" ini.
Karena toh merayakan itu juga bisa disebut sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah kita dapatkan. Tapi yang sering terjadi justru sebaliknya, bukan alih-alih bersyukur dengan tindakan positif tapi kita malah terlalu tenggelam dalam "euforia" kelegaan itu yang pada akhirnya menjerumuskan kita pada tindakan-tindakan negatif. Seperti Ugal-ugalan di jalan, selain itu membahayakan diri sendiri bukankah itu juga membahayakan diri orang lain? Belum lagi resiko di-razia oleh aparat keamanan, dan resiko-resiko tak terduga lainnya. "Demi solidaritas dan kenangan, tak apalah, lagian ini juga hanya sekali seumur hidup". Itu kata adik sepupu yang saya tanya kenapa dia begitu ngotot sampai menangis segugukan demi meminta izin kepada orangtuanya agat bisa ikut teman-temannya. Sedikit mengelus dada mendengar penuturannya. "Demi Solidaritas dan hanya sekali seumur hidup". Hanya untuk alasan yang menurut saya kurang logis itu dia mempertaruhkan hidup dan berani membantah orang tuanya. Solidaritas? saya jadi tau kalau ternyata solidaritas pertemanan itu hanya dinilai dari apakah kita bisa mengikuti semua kemauan "kelompok" tak perduli benar atau salah. kemudian "hanya sekali seumur hidup", alasan ini lagi-lagi menggangu fikiran saya, memangnya apa yang salah jika kita sebagai manusia tidak ikut dalam kegiatan yang katanya hanya sekali seumur hidup? apakah karna itu kita tidak bisa menjadi manusia yang mempunyai kridibelitas ataukah kita tidak akan dianggap "manusia normal" jika melewatkan yang "sekali seumur hidup" ini.
Saya yakin setiap orang punya pendapatnya masing-masing tentang isu yang selalu hangat setiap tahunnya ini. Tapi bagaimanapun pendapat nya, saya yakin kita pasti sepakat untuk satu hal, bahwa bukanlah hal yang bijak, jika kita merayakan sesuatu dengan cara membahayakan diri sendiri dan orang lain, seberapa besar pun euforia yang kita rasakan.
Anyway, untuk kalian yang hari ini melaksanakan UJian Akhir semoga pada lulus dengan nilai yang memuaskan tentunya. Amin .dan Oh ya ... selamat datang di tahap baru di hidupmu. :)))
aahh jadi inget masa SMA yang indah...semuanya jadi kisah klasik untuk masa depan kata S07
BalasHapusmasa SMA adalah unforgettable moment buat semua orang sepertinya ya .. :)
BalasHapus