*Sepenggal Cerita dari Angkutan Kota*
Aku percaya bahwa
belajar itu bisa dimana saja dan dari siapa saja. Belajar bukan hanya tentang
bagaimana cara menghitung logarima,kalkulus atau korelasi antara variabel x dan
variabel y. Tapi Ini adalah tentang belajar mendewasakan diri dan menemukan
kedamaian hati dari orang-orang asing tapi mengajarkan banyak hal.
Sehari-hari aku setia menggunakan angkutan kota atau kami
orang Medan akrab menyebutnya “Angkot” sebagai moda transportasi. Setiap
harinya, Dari rumah ke kantor, ke kampus
dan kembali ke rumah hampir 70% menggunakan transportasi kesayangan ini. Trauma kecelakaan ketika belajar naik sepeda
motor dulu berhasil mematikan niatku untuk belajar lagi dan apalagi bekas-bekas
luka yang ditinggalkan juga tak kunjung hilang. Seperti sakit ketika patah
hati. Tetap akan membekas. Mungkin akan jadi samar, tapi tak benar-benar
hilang. Bekas luka yang tak kunjung hilang itulah yang semakin membuatku enggan
untuk belajar mengendarai sepeda motor lagi.
Kata orang, aku mudah menyerah, mereka bilang jatuh itu proses biasa.
Itu mungkin benar, Tapi aku memang belum siap untuk mengambil resiko lagi.
Mungkin nanti. Suatu hari.Entah kapan. Atau transportasi seperti mobil + supir
pribadi tentu juga bukanlah pilihan. Karna dalam kamusku tak ada pilihan
seperti itu . Jadilah aku, mau tidak mau, suka tidak suka, harus berjibaku
dengan “angkot” setiap harinya. Tapi kemudian, entah sejak kapan. Aku mulai
jatuh cinta dengan transportasi ini.
Jatuh cinta Karena ugal-ugalannya angkot Medan yang membuat aku jarang sekali
terlambat ke kantor atau kampus,Karena ongkos yang masih ramah di kantong dan
juga karena disini aku bisa bertemu dengan orang yang berbeda setiap harinya.
Tak jarang selalu ada cerita yang ditinggalkan.
Cerita yang kadang membuat aku merenung , memaknai dan kemudian belajar
tentang banyak hal, seperti mensyukuri hidup misalnya.
Seperti biasa pagi ini, pukul 07.05 aku sudah standby di simpang jalan menunggu angkot
untuk ke kantor, Angkot untuk rute ke kantor ku ini cukup banyak hingga tak butuh
waktu lama untuk menunggu. Kapasitas angkot cukup full, tapi aku melihat masih
ada ruang tersisa bahkan untuk 2 orang.
Aku naik, tapi tak tak terlihat reaksi penumpang untuk menggeser dan memberikan
ruang untukku, pura-pura tidak tau. Ada yang bermain dengan gadgetnya, ada yang
membaca buku, dan ada yg mengobrol. Aku mulai tidak sabar dan memutuskan untuk
turun saja, sebelum aku sempat turun ternyata abang supir melihat gelagat ku
dan langsung berseru dengan suara keras nan lantang khas orang Batak. “GESER
DULU, GESER, 8 6 8 6, KALAU MAU LAPANG NAIK TAKSI SAJA SANA” Tak pelak semua
penumpang pun langsung bergeser, dan akhirnya aku mendapat ruang untuk duduk.
Aku hanya tersenyum kecil, tak habis berfikir, bahkan di angkutan umum yang notabene
sama-sama membayar, untuk berbagi sedikit saja sulit sekali rasanya. Dan
guyonan lama yang mengatakan bahwa hanya dengan suara keras orang baru bisa
sadar dan mengerti mungkin benar adanya.
Tapi bukan hal ini yang sebenarnya lebih menggugah hati ku hari ini. Oh
ya sebelumnya, sekedar informasi 8 6 8 6 adalah formasi kapasitas penumpang
dalam sebuah angkot di Medan. 8 penumpang untuk kursi sisi kanan, dan 6
penumpang untuk sisi kiri. Aku tidak terlalu suka dengan formasi ini karena biasanya
si abang supir akan terus menaikkan penumpang sampai mencapai formasi ini tanpa
mau tau apakah masih ada ruang tersisa atau tidak,dan kalian bisa bayangkan jika
yang menjadi penumpang adalah orang-orang berbadan subur dan “berdapur” besar. Selanjutnya yang terjadi adalah menikmati diri
menjadi ikan pepes sejenak.
1 komentar:
Posting Komentar